Biarpun
gue merasa udah cukup ‘fasih’ mengotak-atik FB, yang udah gue gerayangin dari
taon 2009, toh gue terhenyak juga oleh beberapa hal ‘sepele’ yang sama sekali
ngga gue duga, dan ngga ‘sepele’ buat orang lain. Salah satunya adalah ‘tata krama’ majang foto ke medsos. Eits,..bukan foto porno coy. Kalo gituan jelas gue ngga. Masalahnya, semua keluarga gue terkonek sukses ama FB
gue. Kasihan mereka bakal mendapat malu
sama temen-temen and handai taulannya kalo ketahuan ternyata gue ‘sepporo’ alias
separuh porno,…wkwkwk.
Foto yang
gue maksud adalah foto keseharian rekan kerja gue.
Berhubung
gue kerap njadiin FB sebagai ajang explorasi sisi ‘jenaka’ terpendam di diri
gue, makanya di beberapa kesempatan, gue suka majang foto-foto teman kerja di pabrik, buat fun
doang. Gue sama sekali ngga nyangka kalo
pemuatan foto yang gue barengin statement lucu, malah melukai harga diri
sebagian mereka. Busyet deh. Tapi gue mau bilang apa, namanya juga ngga
tau.
Jadi
gini, sesaat setelah foto-foto lucu tersebut gue muat di FB, tanpa sengaja gue
denger percakapan bernada miring 3 orang tentang foto-foto tadi. Mereka rasa foto tersebut udah melukai harga
diri, dan meremehkan jati diri mereka. Demi
‘tongkat’ gue yang unyu,…, gue sama sekali ngga punya niat gitu. Gue cuma
pengen lucu-lucuan. Tapi gue diem, dan ngga berusaha nanya ke mereka alasannya,
karena gue yakin mereka ngga bakal ngomong apa adanya, karena gue atasan
mereka, dan masalah ini bukan masalah kerjaan.
Sambil
kentut diem-diem, gue ninggalin mereka, dan berusaha memikirkan alasan ketidak
sukaan tersebut. Dan buat gue, suara
mereka mewakili suara temen-temen lainnya.
Status
gue sebagai atasan mereka, akhirnya membuka sendiri topeng keegoisan gue. Keegoisan yang membutakan gue untuk bisa memahami
kenapa mereka ngga suka foto-foto tersebut di pajang di medsos.
---------------0000--------------
Sebagian
besar rekan kerja gue berangkat dari
rumah dengan penampilan yang rapi, licin, dan harum. Dengan kebanggaan sebagai sosok-sosok
bertanggung jawab yang menafkahi dan menyokong ekonomi keluarga, mereka menuju
tempat kerja. Dan di lingkungan tempat
tinggal mereka, info tentang apa yang mereka kerjakan, posisi, atau jabatan,
bukanlah hal penting untuk disebarluaskan.
Yang terpenting adalah di mana mereka bekerja, dan pekerjaan halal yang
dilakonin.
Di
tempat kerja, mereka wajib menggunakan pakaian kerja yang disesuaikan dengan
jenis pekerjaan. Selain untuk mengurangi
kontaminasi silang terhadap produk di tempat kerja, semua pakaian kerja memang
tersedia, dan dicuci/disetrika di tempat kerja setiap harinya.
Secara
tersirat, banyak dari mereka yang sama sekali tidak suka diketahui banyak orang
tentang pekerjaan, posisi, atau jabatannya di tempat kerja. Sah-sah aja donk. Makanya, kalaupun ada moment di mana mereka
ingin di abadikan, atau di foto, maka bukanlah saat di mana mereka sedang
melakukan pekerjaan, dengan pakaian kerjanya.
Apalagi di pajang secara internasional di medsos yang notabene
berpotensi dilihat semua orang.
Bener
toh ? Coba perhatikan foto-foto di medsos.
Kalo bisa yang di muat adalah moment eksklusif, di tempat eksklusif,
dengan sosok-sosok eksklusif, dan dandanan eksklusif. Bukannya pake pakaian kerja yang bikin orang
kelihatan cemen, dan sedang melakukan aktifitas cemen. Kalaupun emang pengen tampil konyol dan
cemen, yah konyol dan cemen sekalian.
Tapi konyol dan cemen yang kita inginkan, atau sepengetahuan kita. Bukan hiden camera. Lain lagi tuh persoalannya.
Coba
deh, berapa banyak sih orang yang senang secara tulus dan ikhlas, pas liat rangkaian
fotonya yang lagi ketakutan setengah mati lantaran di
kejar 2 ekor anjing herder, di muat di medsos tanpa sepengetahuan dan ijinnya ?
Jangan-jangan anjing herdernya juga protes.
Hehehe,…
-----------0000----------
Kayaq
yang gue ulas di atas, status sebagai atasan mereka seolah meligitimasi kekuasaan absolut atas tindakan yang gue lakonin. Padahal, perbuatan tersebut justru menunjukan kepicikan gue. Karena gue harusnya paham kode etik ini, karena jauh di hati kecil
gue, foto bareng di samping Profesor top sebuah universitas, seorang Lionel
Messi, atau teman yang publik figur di jajaran Universitas, senantiasa mengilaskan secuil sensasi segar nan aneh yang mungkin udah sembunyi
di hati sejak anak-anak: rasa bangga.
Fotoan di bawah menara Eiffel,-Paris, mungkin lebih sensasional
ketimbang di pinggir kuala jengki,-Manado.
Di foto pas ngamen di emperan New York,-Amrik, bakal lebih mencetar
ketimbang di kedai kopi jarod,-Manado.
Bangga
karena tampil anggun di samping orang beken, atau di tempat keren nan
eksklusif, gue rasa bukan dosa yang tak terampunkan. Dan foto bicara banyak soal itu. Kalaupun dunia foto-fotoan merangkak pada
kemajuan significan dengan berbagai tehnik rekayasa yang bisa mengelabui banyak
mata, toh perasaan asli seseorang ngga bakal bisa direkayasa. Kita ngga bakal punya kebanggaan asli kalo
nampilin foto rekayasa di medsos, seolah lagi jabatan tangan sama Barrack Obama,
padahal ‘cuma’ sama Julia Perez, pas moment menang balap karung.
------------0000-------------
Akhirnya,
prenk-prenk gue di CMP yang ngerasa ngga nyaman sama foto-foto yang gue ekspos
di medsos, kiranya loe baca tulisan ini, dan sudi maafin gue yang sok lucu, tapi
egois dan seenak puser. Kalo emang loe
mau foto-foto tersebut gue apus, gue bakal apus. Tapi, jujur, gue gak bermaksud mempermalukan
loe semua. Cuma pengen lucu-lucuan di
moment HUT CMP. Tx for kerja sama kita
selama ini.
Pakatuan Wo
Pakalewiren.