Selasa, 19 Januari 2016

Ternyata…



Biarpun gue merasa udah cukup ‘fasih’ mengotak-atik FB, yang udah gue gerayangin dari taon 2009, toh gue terhenyak juga oleh beberapa hal ‘sepele’ yang sama sekali ngga gue duga, dan ngga ‘sepele’ buat orang lain.  Salah satunya adalah ‘tata krama’ majang  foto ke medsos.  Eits,..bukan foto porno coy.  Kalo gituan jelas gue ngga.  Masalahnya,  semua keluarga gue terkonek sukses ama FB gue.  Kasihan mereka bakal mendapat malu sama temen-temen and handai taulannya kalo ketahuan ternyata gue ‘sepporo’ alias separuh porno,…wkwkwk.


Foto yang gue maksud adalah foto keseharian rekan kerja gue.


Berhubung gue kerap njadiin FB sebagai ajang explorasi sisi ‘jenaka’ terpendam di diri gue, makanya di beberapa kesempatan, gue suka majang  foto-foto teman kerja di pabrik, buat fun doang.  Gue sama sekali ngga nyangka kalo pemuatan foto yang gue barengin statement lucu, malah melukai harga diri sebagian mereka.  Busyet deh.  Tapi gue mau bilang apa, namanya juga ngga tau.



Jadi gini, sesaat setelah foto-foto lucu tersebut gue muat di FB, tanpa sengaja gue denger percakapan bernada miring 3 orang tentang foto-foto tadi.  Mereka rasa foto tersebut udah melukai harga diri, dan meremehkan jati diri mereka.  Demi ‘tongkat’ gue yang unyu,…, gue sama sekali ngga punya niat gitu. Gue cuma pengen lucu-lucuan. Tapi gue diem, dan ngga berusaha nanya ke mereka alasannya, karena gue yakin mereka ngga bakal ngomong apa adanya, karena gue atasan mereka, dan masalah ini bukan masalah kerjaan.



Sambil kentut diem-diem, gue ninggalin mereka, dan berusaha memikirkan alasan ketidak sukaan tersebut.  Dan buat gue, suara mereka mewakili suara temen-temen lainnya.



Status gue sebagai atasan mereka, akhirnya membuka sendiri topeng keegoisan gue.  Keegoisan yang membutakan gue untuk bisa memahami kenapa mereka ngga suka foto-foto tersebut di pajang di medsos.



---------------0000--------------



Sebagian besar rekan kerja gue  berangkat dari rumah dengan penampilan yang rapi, licin, dan harum.  Dengan kebanggaan sebagai sosok-sosok bertanggung jawab yang menafkahi dan menyokong ekonomi keluarga, mereka menuju tempat kerja.  Dan di lingkungan tempat tinggal mereka, info tentang apa yang mereka kerjakan, posisi, atau jabatan, bukanlah hal penting untuk disebarluaskan.  Yang terpenting adalah di mana mereka bekerja, dan pekerjaan halal yang dilakonin.


Di tempat kerja, mereka wajib menggunakan pakaian kerja yang disesuaikan dengan jenis pekerjaan.  Selain untuk mengurangi kontaminasi silang terhadap produk di tempat kerja, semua pakaian kerja memang tersedia, dan dicuci/disetrika di tempat kerja setiap harinya.

Secara tersirat, banyak dari mereka yang sama sekali tidak suka diketahui banyak orang tentang pekerjaan, posisi, atau jabatannya di tempat kerja.  Sah-sah aja donk.  Makanya, kalaupun ada moment di mana mereka ingin di abadikan, atau di foto, maka bukanlah saat di mana mereka sedang melakukan pekerjaan, dengan pakaian kerjanya.  Apalagi di pajang secara internasional di medsos yang notabene berpotensi dilihat semua orang. 
 

Bener toh ? Coba perhatikan foto-foto di medsos.  Kalo bisa yang di muat adalah moment eksklusif, di tempat eksklusif, dengan sosok-sosok eksklusif, dan dandanan eksklusif.  Bukannya pake pakaian kerja yang bikin orang kelihatan cemen, dan sedang melakukan aktifitas cemen.  Kalaupun emang pengen tampil konyol dan cemen, yah konyol dan cemen sekalian.  Tapi konyol dan cemen yang kita inginkan, atau sepengetahuan kita.  Bukan hiden camera.  Lain lagi tuh persoalannya.


Coba deh, berapa banyak sih orang yang senang secara tulus dan ikhlas, pas liat rangkaian fotonya   yang lagi ketakutan setengah mati lantaran di kejar 2 ekor anjing herder, di muat di medsos tanpa sepengetahuan dan ijinnya ? Jangan-jangan anjing herdernya juga protes.  Hehehe,…



-----------0000----------



Kayaq yang gue ulas di atas, status sebagai atasan mereka seolah meligitimasi kekuasaan absolut atas tindakan yang gue lakonin.  Padahal, perbuatan tersebut justru menunjukan kepicikan gue.  Karena gue harusnya paham kode etik ini, karena jauh di hati kecil gue, foto bareng di samping Profesor top sebuah universitas, seorang Lionel Messi, atau teman yang publik figur di jajaran Universitas, senantiasa mengilaskan secuil sensasi segar nan aneh yang mungkin udah sembunyi di hati sejak anak-anak: rasa bangga.  Fotoan di bawah menara Eiffel,-Paris, mungkin lebih sensasional ketimbang di pinggir kuala jengki,-Manado.  Di foto pas ngamen di emperan New York,-Amrik, bakal lebih mencetar ketimbang di kedai kopi jarod,-Manado.


Bangga karena tampil anggun di samping orang beken, atau di tempat keren nan eksklusif, gue rasa bukan dosa yang tak terampunkan.  Dan foto bicara banyak soal itu.  Kalaupun dunia foto-fotoan merangkak pada kemajuan significan dengan berbagai tehnik rekayasa yang bisa mengelabui banyak mata, toh perasaan asli seseorang ngga bakal bisa direkayasa.  Kita ngga bakal punya kebanggaan asli kalo nampilin foto rekayasa di medsos, seolah lagi jabatan tangan sama Barrack Obama, padahal ‘cuma’ sama Julia Perez, pas moment menang balap karung.



------------0000-------------



Akhirnya, prenk-prenk gue di CMP yang ngerasa ngga nyaman sama foto-foto yang gue ekspos di medsos, kiranya loe baca tulisan ini, dan sudi maafin gue yang sok lucu, tapi egois dan seenak puser.  Kalo emang loe mau foto-foto tersebut gue apus, gue bakal apus.  Tapi, jujur, gue gak bermaksud mempermalukan loe semua.  Cuma pengen lucu-lucuan di moment HUT CMP.  Tx for kerja sama kita selama ini. 




Pakatuan Wo Pakalewiren. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar