Hujan
tipis satu-satu memburamkan kaca ruang kerja Abi. Hampir semenit ia pandangi lembutnya kabut yang menggayuti Puncak Cartenz Piramid di kejauhan. Walau di tangannya ada puluhan lembar
recording retort proses pengalengan, benaknya mengembara ke tempat lain. Sebuah masa yang telah lama dikuburnya.
Minggu
lalu, waktu asyik surfing di FB, angka 3 merah tampil di tools pertemanan . Dengan
cepat abi nge-klik tanda persetujuan untuk 2
orang yang baru dikenalnya.
Jarinya terhenti pada yang ke-3. Monik Wijaya, sebaris nama yang memaksanya kembali menautkan bingkai hatinya yang pernah
dipenuhi berjuta harapan akan manisnya
cinta dari seraut wajah elok nan rupawan.
Neldina Wijaya, sang adik.
“Alow
Nik, apa kabar ? Udah lama banget ya…”
Adalah
kalimat pertama Abi di inbox Monik. Selanjutnya,
Abi dan Neldina seolah menemui warna baru di dunia maya. Inbox mereka
di penuhi cerita yang sering
membuat mereka sendiri heran, dari mana ide-idenya berasal. Selalu baru, segar, menggelikan, dengan
sesekali berbau sensual.
====================================================
19
tahun lalu, di sebuah perkemahan remaja Gereja di Taman Bunga Cibubur, Abi melihat Neldina dan Monik Wijaya pertama
kali. Ia baru merayakan HUT-nya yang ke-
12. Mereka duduk melingkar di sebuah aula besar. Jhon Manusama
berdiri di tengah lingkaran sebagai pembawa acara. Suaranya yang bass dan berwibawa menyegarkan
suasana reatret, yang berlatar
instrument ‘Amazing Grace’
|
photo by chupitaz |
Abi
tak focus lagi pada jalannya acara. Terpaku
pada seraut wajah manis di seberangnya. Berkemaja
dan rok coklat muda. Gejolak aneh yang
begitu asing tak henti begelora di dadanya.
Cinta pertama pada pandangan pertama adalah sesuatu yang tidak pernah
dikenalnya, dan tak pernah diketahui hadirnya. Tapi Abi tak pernah bisa melupakan wajah itu. Neldina Wijaya adalah keajaiban yang pertama
dirasakan Abi sebagai laki-laki.
Sejak
itu, kehadiran Abi di tiap kegiatan Pemuda dan Remaja Gereja semata untuk memenuhi kerinduan jiwanya menatap sosok Neldina. Mendengar suaranya yang halus, dan mengawasi
tiap detail gerakannya. Sosok Tuhan
baginya hanyalah imaginasi berkabut dalam selubung misterius tentang Kuasa,
Keagungan, Keajaiban dan Belas Kasihan.
Tapi Neldina adalah sebuah harapan.
Bagi
Abi, tak pernah ada lagi mahluk indah nan anggun selain Neldina.
========================================================
“Nik,
gimana kabarnya Dina, ceritain dong…” Adalah email ke-4 yang ia pendam untuk
memenuhi rasa rindu dan keinginan tahuannya akan sosok yang pernah begitu
mengobsesinya. Yang membuat ia menangisi
hari-harinya karena tidak pernah menyatakan betapa ia begitu mencintainya.
“Eh
koq tumben nanyain Dina..?” Monik membalas email tersebut 3 hari kemudian
“Loe
beneran ngga tau, ato pura-pura ngga tau sich…?” Abi merasakan lagi debaran
masa lalu itu
“Suer
gue ngga paham maksud loe..” Monik membalas singkat
“Nik,
sejak umur gue 12 taon, Neldina, adik loe, adalah cinta pertama gue pada
pandangan pertama. Dina membelenggu seluruh ruangan di hati gue
selama bertahun-tahun. Tapi begonya, gue
ngga pernah behasil mengutarakan rasa cinta itu. Bahkan cuma untuk sekedar menyampaikan
signal-signal kekaguman-pun ngga. Gue
cuma bisa memimpikan sosok indahnya. Merindukannya
dari waktu ke waktu. SMP, SMA hingga gue
menemukan pendamping hidup gue, dan melupakan semua hayalan-hayalan indah tentangnya. Gue ngga pernah lupa gimana sakitnya memendam
harapan itu bertahun-tahun. Gue juga
ngga lupa airmata yang mbasahin berlembar-lembar kertas yang bertuliskan Abi
love Dina, waktu ortu gue pindah ke
Jayapura.
Ada
beberapa cewek yang sempat mengisi hari-hari gue. Tapi slalu aja ada ruangan di hati gue yang
entah kenapa dipenuhi penantian dan kerinduan akan senyum memikat milik
Dina. Hingga akhirnya gue harus nyerah,
dan dengan kepiluan membiarkan bayangan Dina perlahan sirna, serta merelakan
memori di otak gue mencatat kenangan itu
sebagai sebuah ironi. Ironi masa lalu”
Seraut
senyum kembali melintas di benak Abi.
9
hari kemudian Monik membalas inbox-nya
“Bi,
gue bener-bener ngga nyangka loe pernah punya cinta sebesar itu ke Dina. Prihatin banget gue mbaca email loe. Tapi gue nyesel sama sifat loe yang tertutup saat itu.
Kalo aja loe berani ngekspresiin rasa itu ke Dina, gue rasa peluang loe
buat ngerampas hati Dina cukup besar, karena cowok pertama Dina punya profil
yang ampir mirip sama loe. Putih,
tinggi, pendiam.
Bi,
sebenarnya gue ngga pernah nyeritain kisah ini ke orang lain. Karena kisah yang bakal gue certain adalah
kisah kelam adik gue sendiri. Itu sebabnya gue agak lama mbales inbox loe. tapi gue percaya loe laki-laki yang
baik. Apalagi setelah gue tau kalo loe
pernah sangat mencintai Dina.
Justus
adalah cowok pertama Dina yang juga membuat Dina hamil, bahkan beberapa kali
menggugurkan kandungan. Cuma gue di
keluarga yang tahu Dina menggugurkan kandungan.
Mama pun ngga tahu. Mereka sebenarnya
udah mempersiapkan pernikahan, tapi batal karena alasan yang gue sendiri ngga
pernah tau. Malah mereka akhirnya putus.
Setelah
putus, hidup Dina nelangsa banget.
Hingga akhirnya gue denger Dina jadi simpanan pria Jerman, rekan
kerjanya. Tapi berakhir juga setelah
cowok Jermannya itu balik ke negaranya.
Kemudian,
Dina hidup bersama dengan mitra kerja kerjanya, seorang pria Australia, tapi
putus juga setelah 2 taon. lalu
lagi-lagi jadi simpanan pria Australia.
Tapi putus juga, hingga akhirnya kawin kontrak dengan pria Inggris selama
5 taon, dan melahirkan seorang anak bule yang sekarang udah berumur 8 taon.
Secara
financial Dina ngga pernah kekurangan.
Lebih malah. Tapi gue tau hati
Dina nangis karena terluka. Gue tau Dina
ngga pernah mengharapkan kehidupan rumah tangga seperti itu.
Bi,
tolong jangan rusak kepercayaan gue karena udah menceritakan kisah ini. Karena bagaimanapun keadaannya, Dina adalah
adik yang gue sayangin. Orang yang
pernah loe cintai."
=============================================================
Abi
berulang-ulang membaca inbox Monik. Ingin
sekali ia tidak mempercayai semua kisah tersebut. Tanpa disadari, pandangannya mulai
mengabur. Setetes butiran bening
mengalir di pipinya. Perlahan, Abi
membelai seulas senyum yang terpapampang di laptopnya. Foto sesosok wanita cantik yang dikirimkan
Monik. Sebuah senyum yang pernah begitu
dirindukannya. Senyum dari masa lalu
yang penuh ironi.
Abi
menutup laptopnya, dan berjalan ke kamar.
Menatap penuh cinta pada sosok wanita yang tengah pulas sambil memeluk
bocah kecil. Orang-orang tercinta yang
telah mendampinginya menyongsong mentari esok.
Dina,
aku hanya bisa memohon lewat doa kepada yang Maha Kasih Tuhan, kiranya Ia
menganugerahkan kebahagiaan untukmu.