Slalu ada kerinduan besar di diri gue untuk
nulis. Tapi selalu juga ‘ganjalan’ besar yang menahan hasrat
tersebut, yakni aliran ide yang kerap menjauh.
Masa gue harus nulis gini:
‘Dear
diary, hari ini gue galau banget. Galau
yang extreme,…..’
wkwkwk,…bisa-bisa gue diledekin cewek SMP gue, si
Edelweis, yang secara sembunyi juga udah mulai ikutan nulis dikit-dikit.
Mujurnya, sebuah momentum ngasih gue sebuah
pencerahan.
---------------ooo---------------
24 th lalu (skitar th 1991/92), gue, Belly and Stanley pernah rally
Soputan-Mahawu-Klabat dalam sekali jalan. Pas di pinus Soputan yang
waktu itu cuma kita
bertiga (karena bukan hari pendakian umum, kayaq Jumat ato Sabtu), kita
dikejutin sama pergerakan yang perlahan tapi pasti mendekat ke tenda. Rasa kuatir dan was-was lantaran kesenyapan
yang amat sangat sempat melintas di benak gue.
Tapi rasa itu langsung sirna waktu ada cahaya senter yang membias ke
beberapa arah. ‘Ini pasti orang’ kami
meyakinkan diri. Kami-pun melafalkan sandi umum
pendaki,..Eaoooo....Jawaban tunggal yang sama
membahana. Alhamdulillah,...tambah satu
temen lagi nich. Ngga lama berselang muncul 1 bayangan sinting yang
ternyata personil Mapala Kedokteran.
Tadinya kita pikir dia bareng rombongan. ‘Cuma saya sendiri’ Katanya
sambil senyum (masa sambil masak,…hehe).
Hmmhh,..satu lagi orang sinting
masuk di daftar otak gue. Namanya
Dani. Sekarang doski udah jadi Dokter spesialis
(cuman gue belom tau spesialis apa, tapi pastinya bukan spesialis tendangan
tanpa bayangan,…karena itu punya Jet Lee).
Sumringah ketemu temen,
kita-pun ngalor ngidul ngobrol, sampe akhirnya doski mbocorin rahasia tujuan
utamanya ngelakonin single climbing
malam itu: pengen nyari Edelweis buat hadiah HUT ceweknya. Alamak,...romantis
dan syarap banget nich cumi. Tapi kita
ber-3 sempet saling pandang. Yah bukan
apa-apa, soalnya waktu itu kan masih panas-panasnya menyandang predikat pecinta
alam yang memegang teguh (dan mentah-mentah) kode etik pecinta alam no.2: “Memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber alam sesuai dengan kebutuhannya”
Btw, benak
usil gue meradang lantaran takjub sama
kebulatan cinta Dani
yang bikin gue jeles. Huuhh,..kalo
gue mah ogah naik Soputan sendiri malem buta cuman buat ngambil bunga abadi
bernama Edelweis Uuuhh,..jadi inget film ‘The Vow’ yg
dibintangin Channing Tatum.
(kabar terakhir
yang gue denger, Dani akhirnya merit, dan hidup bahagia sama wanita yang di
pujanya setengah mati. Iihh,…koq mirip
di film-film yooo)
Setelah moment tersebut, kita ber-3 ngga pernah lagi
mendaki gunung bareng. Paling hebat
berdua. Kalo engga gue ama Stanley (yang
paling sering), gue sama Belly, atau Belly sama Stanley.
(Dalam hitungan
gue, gue udah mendaki Soputan lebih dari 44 x, sedangkan Stanley lebih gila lagi. Menurutnya, dia udah mendaki Soputan lebih
dari 85 x booo,…)
Waktupun merayap, meninggalkan masa-masa muda yang
penuh dinamika dan vitalitas. Kami-pun
dipisahkan oleh kesibukan. Hingga,…
----------------ooo---------------
Beberapa saat sebelum tanggal 7 Pebruary 2016, bro
Belly yang nelangsa lantaran batal merayapi Klabat di akhir 2015, nantangin
gue, Glen Wantalangi, and Joseph Palinggi (Tato) untuk ngobatin kekecewaannya
ke Klabat. Kami ber-3 pun sepakat ke
Soputan.
Dalam persiapannya, kita iseng ‘menyelipkan’ Stanley Tambani yang bisa di bilang ‘raib’ dari rimba
petualangan alam bebas untuk kurun waktu ± 22 tahun karena pertimbangan khusus.
(sengaja gue
pake istilah ‘menyelipkan’ lantaran dari banyak kongkow bareng, doski sering
meragukan kemampuan fisiknya, alias ngga yakin bakal mampu mendaki gunung lagi)
Ngga bisa dipungkirin kalo aktifitas sebagai pegawai,
pekerja, atau pengusaha, yang sekaligus kepala keluarga, udah menyedot langkah
kaki kita ke salah satu mata angin. Di
sisi lain, kami juga terkendala oleh kemampuan fisik yang tentunya menurun
seiring waktu. Kami bukan lagi anak muda
yang bisa nggendong ransel 60 liter tanpa keluar lidah, dan terkentut-kentut,..hehehe. Kami ngga muda lagi untuk bebas terbang
sesuka hati. Kami tinggallah seonggok
lelaki 45’an yang penuh karat karena udah banyak melepaskan asam amino, enzim,
Kalsium, Magnesium, CO2, serta menyerap lipida (hehehe,..bingung-bingung loe)
Kami tinggallah lelaki gaek yang ingin bernostalgia
merasakan sisa-sisa energy anak muda, walau dengan malu-malu nyanyiin lagunya
bang Jamal Mirdad saat menggenggam jari istri (istri sendiri dong, masa istri
Godzilla):
‘ibarat
burung dara ikatlah kakiku, ku
telah jadi milikmu
namun jangan kau cabut bulu di sayapku, akan lumpuh pula jiwaku’
namun jangan kau cabut bulu di sayapku, akan lumpuh pula jiwaku’
Syukurnya juga, pasangan
hidup kita paham banget jiwa kita, dan ngga pernah nyabut bulu di sayap kita
(tapi kalo ‘bulu’ di tempat laen,…kecabut sendiri,…hehehe), hingga kita masih
bisa ngambil kesempatan bernostalgia dengan sayap-sayap renta yang udah sering
di reparasi.
-------oooo-------
Persiapan untuk menggerayangi seksinya pinus
Ponderosa-pun di rancang dengan perubahan skenario. Yoseph (Tato) yang di setting bakal kongkow bareng
di pinus, harus mundur dengan berat hati lantaran cedera serius di jarinya
waktu ngurusin bisnis ikan. Doski
terlalu hot membelai ikan sampe sebiji tulang ikan kering bersemayam di jarinya
yang langsung berubah segendut ikan lele yang udah siap memijah. Kasian campur ngeri ngeliat jarinya.
“Lantaran sakit
banget, gue ngga tidur semaleman sob” Tato senyum meringis.
Akhirnya malah Stanley Tambani yang baru di hubungi
kurang dari 26 jam sebelum keberangkatan, yang mutusin ikut. Itupun dengan 98,7% keraguan.
“Gue nganter loe
berdua aja sampe ke kaki gunung,…”
Ya udah, ngga sampe hati maksa orang tua renta yang
punya niat baik nganter,…hehehe.
Gue sama Stanley (Endi) pun bergerak ke Manado buat
njemput Pendeta Belly, toex selanjutnya ketemu mas Glen Wantalangi yang udah
lumutan 3 hari di Pinus Soputan, nonton letusannya.
“Bawa kue basah,
air minum, sama tenda aja…” Pesan
sms terakhir mas Glen sebelom abis batrei (HP-nya dong yg abis batrei, masa mas
Glend. Kan dia pake minyak tanah,…)
Pas di sekitaran Sonder, berita dari radio di mobil
ngumumin kalo Soputan meletus lagi dan menyemburkan debu tebal. Jalur pendakian di tutup. Demi dewi padi, perjalanan udah sejauh ini,
masa mau balik pulang. No way….!!
Sesuatu yang ngga pernah terlintas di otak kita-kita waktu muda untuk balik
pulang, kalo udah keluar kamar kost ato rumah bawa ransel buat mendaki. Bisa jadi tiang garam,…wkwkwk.
Dipendekin aja ye. Jadi pas jam 12 malem, kita mulai start dari
desa Toure, Tompaso Barat. Orang bilang
Desa-nya para pendaki. Desa yang paling banyak dikunjungin calon sarjana di
seantero Sulawesi Utara. Desa yang ngga
berubah significan walau udah 5 x ganti Gubernur.
Hebatnya, Endi (Stanley) yang ngga pede sama kemampuan
fisiknya, memutuskan ikut. Malah ikhlas
mbawa 2 ransel yang sedianya bakal di bawa porter yang lagi-lagi nihil. Dan berhubung gue yang paling gendut, jadi
bawaan terberat di pindahin ke ransel yang gue gendong (sebenarnya sih gue
sendiri ngga yakin kalo gendongan gue yg paling berat, coz kita ngga sempet
bawa timbangan digital...)
Sempet nahan napas dikit waktu ngerasain
beratnya. Tapi, kan the show must go
on. Lagian, sayang ninggalin kue basah pesenan
mas Glen yang ampir 100 biji....hehehe.
Setelah minta ijin sama Pencipta Alam, kami ber-3
menapaki heningnya malam. Dengan 3 biji
senter, 6 liter minuman mineral, dan daya ingat yang low bat, kami meniti
kesunyian, mirip prosesi yang pernah kami lakonin 24 tahun yang lalu. Ngga ada sosok lain dalam perjalanan. Temaram lembut rembulan sama desiran angin,
berkolaborasi indah sama napas ngos-ngosan 3 kuda tua yang tertatih-tatih
sambil berharap ketemu botol berisi Jin yang nawarin 10 permintaan. Gue 3, Belly 3, Endi 3, and yg 1 lelang. Kali
aja Tato mau beli,…wkwkw.
Sepanjang jalan gue banyak ngedumel lantaran ngga bisa
ngerokok sama sekali. 56 batang rokok
gue mubazir lantaran korek api gue ilang entah ke mana. Belly sama Stanley udah 10 taon lebih berenti
ngerokok. Ah,…sesuatu yang mustahil
waktu mendaki muda dulu: ketiadaan korek api.
Karena dari 7 orang yang mendaki, 8-nya adalah perokok,….wkwkwk.
Singkatnya, jam 04.30 pagi, kami sampai dan terkulai di
Pinus Ponderosa gunung Soputan. Di luar
dugaan, Stanley yang diyakini ngga bakal mampu tembus, justru menunjukan
performa prima. Amazing.
Gerimis yang menyatu dengan kabut tipis menemani kami
saat masang tenda yang segelnya baru di buka.
Sekumpulan anak muda yang seumuran anak-anak kami datang membantu
ndiriin tenda lantaran ngeliat kami bingung sama format tenda baru. Gue langsung minta (bukan pinjam) korek api
untuk membayar puasa ngerokok selama perjalanan.
Begitulah kelebihan pendaki gunung. saling sapa, saling bantu, dan saling
toleran. Sikap yang seringkali susah
ditemuin nun jauh di perkotaan sana.
‘cinta kan
membawamu, kembali di sini, menuai rindu, membasuh perih,….’ (Reza)
Adalah senandung yang pas untuk Stanley yang setelah
puluhan taon, akhirnya balik nemuin sahabat lamanya yang lagi batuk berat.
Ngga lama kemudian kita ketemuan sama mas Glen and Poppy.
------------ooo--------
Sehari sesudah sampe di rumah, sambil ngisep rokok and
nyesep segelas kopi item, gue coba merunut balik perjalanan ke Soputan. Gue ngerasa ada yang aneh sama trip di hari
Imlek tersebut. Hari di mana Soputan
meletus. Karena biarpun gue memaksakan
diri untuk menemukan kesamaan nikmatnya mendaki di masa muda, toh gue harus nrima
realitas kalo semua itu udah ngga ada lagi.
Gue ngga bisa lagi nutupin kenyataan kalo eksistensi gue sebagai pendaki
gunung udah habis, dan udah harus di tutup. Gue udah kehilangan ‘sentuhan’
sebagai pendaki, dan ngga bisa lagi sungguh-sungguh menikmati adventure yang
pernah jadi passion masa muda gue. Yah,
segala sesuatu ada waktunya. Dan inilah
waktunya buat gue pensiun. Toh pesangonnya udah lama banget gue terima:
kebanggaan, sukacita, dan damai sejahtera.
Gue mendaki gunung sejak umur 15 taon, ato 30 tahun
lalu, dan pernah membelai puncak Merbabu & Slamet (Jateng), Pangrango
(Jabar), Tangkuban Perahu (Jabar), Salak (Jabar), Dua Sudara (Bitung), Klabat
(Airmadidi), Lokon (Tomohon), Soputan (Tompaso), Mahawu (Tomohon), Manado Tua
(Manado), dan Ambang (Kotamobagu)
Kalo tahun 1991/1992, gue pernah mendaki bareng
Stanley and Belly, ternyata tanpa pernah gue duga sama sekali, moment unik tersebut
terulang lagi di tahun 2016. Makanya gue
makin yakin untuk menjadikan momentum tersebut sebagai my last supper in the
mountain. Perjamuan, sekaligus pendakian
terakhir gue. Dan ngga akan pernah ada
lagi jejak kaki gue di Soputan, Klabat, Lokon, Dua Sudara, Manado Tua, atau
puncak-puncak gunung lainnya.
------------oooo---------
Alasan gue berhenti mendaki gunung mungkin beda sama
keputusan Floyd Mayweather gantung sarung Tinju, ato Peter Schmeichel,-kiper
legendaris Denmark, gantung sepatu sebagai pemain bola. Tapi kita punya satu kesamaan, yakni sama-sama
mencintai ‘dunia’ yang pastinya udah memberi warna pada kehidupan kita di masa
kini (makanya putri tertua gue, gue namain Edelweis). Perbedaan mencolok gue sama Floyd and Peter adalah:
Mereka orang-orang super nan beken, and super tajir, tapi gue cuma seekor robin
yang kalo elo mujur ketemu orang yang ngakuin gue sebagai temennya, paling
mereka bakal ngomong:
“ooohh,…Robin,
itu mahluk gendut yang suka nyebelin, sok tau, ngga mau ngalah kalo ngomong,
suka nasehatin panjang lebar, and suka ingkar janji….yah,..kenal-kenal gitu aja
sih”
Ato kalo loe nanya ke wanita yang umurnya sekitar 45’an,
mungkin dengan senyum bangga, mereka bakal ngomong:
“Yah inget
sih. Dia pernah nembak gue sampe 2-3 x
lantaran slalu cuma gue ajak jadi temen doang…”
Pada akhirnya,…..
Sayonara puncak-puncak gunung. Selamat tinggal
Soputan. Sungguh, gue ngga pernah bisa menaklukan kamu, karena justru di
puncakmu kau tundukan keangkuhanku. Di
puncakmu kau telanjangi kerapuhanku, dan kau tunjukan siapa aku yang
sebenarnya. Jagalah mereka
senantiasa,…jagalah para petualang-petualang muda yang terpesona pada
anggunmu….pada ke Maha Kuasaan Ilahi.
Belly, Endi, and Glend,..Thanks for the last supper.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar