Pertanyaan apa tuh ? Ya hidup untuk di jalani, sambil
menunggu datangnya kematian. Anda
benar...!!
Untuk apa kita hidup ? Ya tergantung dari sudut
pandang bagaimana kita menanggapinya.
Ok, masing-masing kita punya perspectif berbeda kalo
bicara tentang tujuan hidup. Tapi
menurut pemikiran ‘bloon’ gue, totalitas hidup tiap orang cuma mengarah ke dua
tujuan: pertama, untuk diri sendiri dan kedua untuk orang lain. Loh koq gitu, kan harusnya ada pilihan
ke-tiga, yakni untuk diri sendiri dan orang lain juga. Okelah kalo begitu (dan anggaplah begitu...)
Tapi buat gue, semua yang kita lakukan dalam hidup
ini, semata-mata untuk dan demi diri kita sendiri. Kalaupun pada akhirnya ‘terkesan’ untuk orang
lain juga, sebenarnya bukanlah tujuan akhir, atau sebuah kesadaran yang di
sengaja, melainkan ‘dampak ikutan’ dari tujuan tersebut. Yuk kita praktek iseng-iseng walau cuma lewat
imaginasi.
Kita haus.
Artinya harus minum. Berhubung
air sekarang ngga gratis, jadi kita harus beli ke warung, toko, ato
apalah. Artinya ada orang yang dapet
untung dari uang kita. Artinya, secara
tidak langsung kita membuat orang lain menghasilkan pendapatan. Yang artinya juga, kita berkontribusi pada
kepentingan orang lain, yg dalam bahasa kita: kita juga hidup untuk orang lain. Tapi kalo kita balik ke tujuan mula-mula, kan
mau ngga mau kita bisa sepakat kalo tujuan
awalnya adalah pemenuhan rasa haus diri sendiri.
Ok..ok, kita anggap rasa haus terlalu
subjectif. Kita coba ke pencarian lain. Penemuan lampu pijar, misalnya. Kan sejarah udah ngasih tahu kalo Thomas Alva
Edison penemunya. dan sebagian besar
orang juga tahu betapa penemuan tersebut udah berhasil mengubah wajah
peradaban, dan memberikan kontribusi extra positif bagi kehidupan manusia. Tapi kalo aja kita bisa menghidupkan kembali
si-Thomas Edison dan menanyakan motif mula-mula, atau tujuannya menciptakan
ke-1000 penemuannya itu, gue berani ngomong dengan keyakinan kalo si-Thomas juga
‘melangkah’ dari kepentingan dirinya sendiri, atau untuk memenuhi rasa ingin
taunya.
Sekarang kita coba ber-imaginasi ke sesuatu yang ‘sedikit’
sensitif. Kisah-kisah kemanusiaannya
Bunda Theresa, misalnya. Bunda Theresa
semula adalah seorang pendidik/guru anak-anak Bangali yang tergolong kaya
raya. Namun dalam perjalanannya saat
ber-kereta api, ia mengalami transformasi hati, dan memutar haluan hidupnya
dengan mendedikasikan hidupnya pada kaum miskin di Calcuta. Demi apa ? Demi menjawab panggilan
hatinya. Demi pemenuhan kebutuhan
spritualnya. Sedangkan tindakannya yang
akhirnya menginspirasi dunia adalah pengejahwantahan atas panggilan tersebut.
‘Dunia’ melihat dampak yang seseorang
perbuat. Tapi pelaku tahu persis untuk
siapa ia melakukannya mula-mula.
Akhirnya,....
Gue pikir, kalo ada orang yang selalu
menggembar-gemborkan ke seluruh dunia bahwa hidupnya semata-mata untuk orang
lain, dia bukan manusia. Karena dalam
ketololan gue, selama kita masih manusia, hal pertama yang kita pikirkan adalah
dari aku, oleh aku dan untuk aku. Ironisnya,
justru dalam ke-akuan tersebut kita akan mendapati ‘celah’ yang merusak ke-akuan
itu sendiri, hingga akhirnya kita harus menabrakan ke-akuan tersebut ke orang
lain. Dalam kalimat sederhana, ‘kita
bahagia hanya jika ada orang lain yang menerima kebahagiaan itu, dan merasa
bahagia’
Mungkin kalimat itu pula yang lebih dulu dialami
Mr. Sam Ratulangi dalam pengembaraan hidupnya, hingga ia berkata: ‘Sitou Tumou
Tumou Tou’ artinya: manusia hidup juga untuk menghidupi orang lain.