Rabu, 30 April 2014

Ironisme di Film Tarzan




Tanpa surveipun gue berani tarohan kalo 1 dari 15 orang di dunia tahu tentang film Tarzan,-sosok manusia yang ngga pernah tau dunia fashion, hidup berayun-ayun dari satu pohon ke pohon lainnya tapi ngga pernah terbukti nanem sebatang pohon-pun, dan dibesarkan monyet gede yang namanya gorila.
Walau dari masa ke masa filmnya diproduksi oleh sutradara dan produser berbeda, tapi tetep aja kisah Tarzan ngga pernah lepas dari panorama hutan, monyet,  sosok perempuan dan darimana Tarzan berasal.
Gambarnya minta sama mbah google

Dari semua hasil olah imaginasi yang melahirkan kisah Tarzan yang pernah gue tonton, ngga satupun yang menyatakan kalo Tarzan berasal dari perkawinan antara putik dan benang sari, ato kawin silang tokek dan capung.  Jelas dinyatakan kalo Tarzan 100% turunan manusia.  Tapi bukan itu pesan ‘tersembunyi’ yang pengen disampaikan.

Lantaran  dari kecil Tarzan dipelihara binatang, dan bergaul sama binatang, makanya ngga ada contoh yang  ngajarin mas Tarzan (bukan tarzan srimulat kaleee) buat ngelakonin tindak tanduk manusia.  Termasuk bahasanya.

Dari tata cara dan selera makan, jelas di gambarkan si Tarzan adalah kelompok herbivora, ngikutin emaknya yang Gorila.  Doski ngga pernah ketangkep basah lagi makan tikus, ato rendang sapi.  Padahal, kalo aja dia tahu kodrat kemanusiaannya, pasti dia rajin bikin ikan bakar rica, sapi panggang, ayam bakar, ato soto kondro.

Dari semua film tarzan, kayaqnya sang produser ama sutradara ngga rela Tarzan jadi binatang beneran tanpa diperkenalkan ke dunia manusia.  Makanya ‘dikirim’-lah sosok Jane buat mengingatkan sisi kemanusiaan Tarzan.  Konyolnya, ampir semua film Tarzan menyiratkan bahwa dibenak Tarzan, jane-lah satu-satunya mahluk paling baik selain mahluk-mahluk lain di hutan yang disebutnya teman.

Buat gue, dari  totalitas film Tarzan, sutradara pengen menekankan lima hal penting:  

Pertama, hewan aja (dalam hal ini dperankan secara apik oleh ibu Gorila,..hehehe) ngga tega membiarkan mahluk hidup mati merana tanpa di rawat, walaupun dia tahu tarzan kecil ngga masuk golongannya.  Tapi manusia, bukan hal aneh kalo banyak bayi-bayi yang di buang dan dibunuh secara brutal.

Kedua, Tarzan yang besar dengan paradigma hewan dan hidup adalah hutan, pada akhirnya menolak habitat aslinya sebagai manusia, karena menurutnya ‘kehidupan’ di hutan sebagai binatang sering masih lebih bagus.

Ketiga, keserakahan dan ketamakan manusia untuk meng-eksploitasi alam beserta isinya harus dihentikan bersama-sama oleh mereka yang mencintai kehidupan.

Keempat, Cuma manusia yang bisa menyadarkan manusia lainnya bahwa kita bukan binatang.

Kelima, Cuma sedikit binatang yang meniru kelakuan manusia, tapi jauh lebih banyak manusia berkelakuan binatang.

Auooooooooooo......uuuuu,...aaaaaaa..........auoooooooooooo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar