Sekitar
taon 1995-1997, ato sekitar 20 taon lalu, merupakan salah satu periode
masa-masa sulit gue. Selesai study,
gue nganggur, dan aliran dana untuk kebutuhan hidup hari-hari di stop ortu.
minjem sama google |
Demi
survival, gue liat apa aja yang bisa gue lakonin, termasuk salah satunya adalah
jadi ‘relawan’ temen-temen mahasiswa
penelitian buat skripsi. Dan namanya
relawan, mahasiswa penelitinya rela
mbeliin nasi bungkus, ya diterima dengan rela sambil senyum. Rela mbeliin rokok, juga senyum. Tapi kalaupun nihil, yang harus rela juga ngutang di warung
nasi. Hehehe…
Berhubung
gue punya ‘jam terbang’ lumayan untuk
urusan menganalisa bakteri and kapang, jadi ada beberapa mhs penelitian yang
mendaulat gue toex mbantu analisa-analisa laboratpriumnya.
Asyiknya,
sebagian besar mereka sih nrimo apapun hasil yang gue sodorin. Bahkan ngga
sedikit yang meminta kerelaan gue ngerjain sampai pembahasan skripsi, khusus
soal mikroba. Tapi ada juga 1 ato 2 yang
bener-bener njengkelin. Keras kepala,
trus banyak ngatur. Mulai dari cara gue yang
salah-lah, terlalu inilah, itulah,..yah pokoknya sempet bikin gue males dan niat
mbatalin buat menganalisa produk penelitiannya.
Woi, jangan lupa: gue relawan.
Gue
pikir nie orang aneh deh. Kan lantaran
dia ngga terlalu paham bagaimana analisa bakteri and kapang, makanya dia
manggil gue yang waktu itu cukup di kenal dari mulut ke mulut punya ‘jam
terbang’ lebih untuk urusan begituan.
Eh setelah gue terima ordernya, koq seolah-olah malah mau ngajarin
gue. Ngga mau denger saran gue. Lah,
kenapa manggil gue ? Kenapa ngga kerjain sendiri kalo loe rasa lebih jago dari
gue.
Anehnya,
dia diem dan berhenti ngatur gue waktu gue bilang
‘kawan, gue mau mbantuin loe, bukan kerja
buat loe, makanya gue ngga pernah pasang tarif.
Dan gue ngga minta apa-apa. Lagian,
kalo loe mau, gue bisa menghadirkan data buat kepentingan skripsi loe, tanpa melakukan
analisa laboratorium untuk bakteri dan kapang, cuma dengan mbaca rencana & metode
penelitian loe’
Belakangan
gue tau kalo alasannya keras kepala lantaran dana. Dari bisikan salah satu temennya, ternyata
dia nyodorin dana gede ke ortunya buat penelitian yang sebenarnya cuma sederhana. Dan supaya sisanya banyak, dia mau irit
seirit-iritnya. Oh, ternyata dia keras
kepala lantaran duit toh.
--------------ooo----------
Beberapa
taon setelah itu, ketika gue masuk bursa kerja, lagi-lagi gue ketemu sama
seseorang yang keras kepalanya level tinggi.
Kata-katanya selalu benar, dan gak bisa di bantah. Hehehe,..maklum, atasan gue. Keras kepala karena posisi. Simplenya: gengsi (mungkin). Tapi tetep aja gue rasa yang beginian parah.
Belakangan
gue dikejutkan oleh fakta bahwa orang-orang
keras kepala yang pernah gue temuin, sialnya,…hehehe…..orang-orang hebat. 2 mahasiswa tingkat skripsi yang 20 taon lalu
nunjukin keras kepalanya ke gue, saat ini udah menduduki posisi penting di
pemerintahan.
Yang
jadi pertanyaan di hati gue: apakah untuk jadi orang hebat harus keras kepala,
ato karena ada ‘gen hebat’ di dirinya, makanya mereka keras kepala ? Ngga tau deh.
Ntar gue survey lagi. Tapi tetep
aja gue sebel banget sama orang-orang keras kepala. Kliatannya alergi banget sama sudut pandang,
ato pendapat orang. Kan kita semua
sepakat dari dulu bahwa ‘nobody is
perfect’
Coba
deh liat pohon bambu. Biarpun diterpa angin
hebat ke kiri-kanan, dia ngikut terus. Kliatan
rapuh, tapi kan yang tumbang karena angin
kenceng bukannya pohon bambu, malah pohon besar yang kuat dan kokoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar