Waktu
masih intens mendaki gunung sekitar taon 90’an, gue pernah punya pengalaman
menggelikan. Ketika itu gue bareng temen
sekitar 7 orang naik salah satu gunung tertinggi di Sulut.
Empat
dari 7 yang pendaki boleh dibilang adalah new comer, alias pendaki pemula,
alias baru pertama kali naik gunung.
Sebagai pendaki baru, pengalaman mendaki tentunya bukan hal yang bener-bener
menyenangkan. Mereka mendaki selain penasaran sama cerita-cerita temen
tentang asyiknya mendaki gunung, juga ingin mengantongi seberkas kebanggan yang
kelak bisa diceritain ke teman lain, atau anak cucu. Tapi rasa siksa yang nikmat dan
mencenat-cenut kan belom pernah mereka alamin.
Harga yang harus di bayar belum pernah mereka tunaikan.
Di
awal pendakian tentunya masih ceria dan banyak selingan ketawa-ketiwi. Tapi ketika perjalanan mulai panjang dan seolah
ngga abis-abis, perlahan mulai menggelayuti mental ke-4 pendaki. Bayangan tentang kisah nikmatnya ada di
puncak perlahan mengabur sama ransel yang entah kenapa jadi tambah berat 3x
lipat. Ujian mental dimulai. Ada yang membayangkan nikmatnya air dingin
dari kulkas di rumah, empuknya bantal, dan semua kenikmatan yang udah
dikorbanin untuk menyeruak di kesunyian dan lebatnya hutan, plus cengkraman
manja lintah-lintah kenyal penghisap darah.
2 dari ke-4-nya udah terang-terangan minta pulang.
Ketika
mental mulai drop, tak ayal fisik mendukung rasa lemah tersebut. Dan saat tersebutlah peran senior
bertambah. Bukan sekedar jadi pemandu,
tapi juga motivator dadakan.
“Yah udah kita istirahat dulu. Minum, makan, isap rokok...”
“Oke, kita jalan pelan-pelan aja. Kalo cape, istirahat lagi. Udah deket koq. Lebih deket sampenya daripada balik pulang..”
Demi
memotivasi, para senior ngga sungkan-sungkan bohong. Masih jauh tapi bilang udah deket. Hehehe,...white lie. Bohong demi kebaikan-lah. Memohon pengertian Sang pencipta.
Akhirnya,
setapak demi setapak, serta melalui berbagai kata motivasi-malah sampe bujukan
dan rayuan-puncak yang diidamkan tinggal deket banget. Semangat pendaki pemula yang udah di titik
0,3 skala richter, langsung melesat ke angka 97,5. Senyum yang hilang mulai terukir lagi di
ujung pipi. Kebanggaan membubung ke
ubun-ubun. ‘gila, akhirnya gue
sampe...’ Amazing.
Tiba-tiba dari arah puncak sekelebat sosok ringkih melangkah turun perlahan. Di punggungnya terlihat sekeranjang penuh buah-buahan hutan dan anggrek hutan berwarna putih yang biasa menempel di pohon-pohon besar.
“Turun pak...?” Salah satu temen basa-basi.
“Iya dik, ini, ada yang pesan anggrek hutan
sama kerenten...” Ngga kedengeran
rasa lelah di suaranya yang berat. Ia melangkah santai turun.
Pas
duduk dan menikmati suasana puncak, foto-fotoan, ngopi dan melepas penat, salah
satu pendaki nyeletuk “Gila banget, kita udah setengah mati
merayap, kejengkang, meleleh sampe di
sini dengan rasa bangga kuadrat, eh bapak tua tadi dengan santai dan cueknya cuma
naik turun memenuhi orderan anggrek hutan kayaq pergi ke kebun”
Menggelikan
sih kalo dipikir. Rasa bangga yang
sempet membubung karena sebuah pencapaian yang kita yakinin spektakuler dan
layak dapat jempol dan pujian, jadi kerasa hambar lantaran ada yang
melakukannya sebagai rutinitas biasa.
Tanpa embel-embel bangga.
Walau kebanggaan itu perlu untuk
refreshing jiwa, konyolnya, kebanggaan justru sirna tak terasa seolah ditiup
angin, ketika kita melakukan banyak hal demi meraih kebanggan tersebut.
Jujur,
gue sempet bangga karena bisa menuangkan ide, opini, atau apalah itu namanya
dalam bentuk tulisan, dan memuatnya di blog, ato FB. Anehnya, gue justru tersadar kalo sebenarnya ngga
ada apapun yang bisa gue banggain dari kemampuan nulis gue, setiap gue abis
baca buku, atau tulisan penulis lain.
Gue
malah ngerasa tersungkur ke jenjang terendah.
Ibarat anak yang baru belajar nyusun huruf demi huruf. Dan kalaupun sampai detik ini gue belom
berhenti menulis, itu bukan lantaran gue masih mengejar yang namnya kebanggaan.
Karena sekarang gue tau, bahwa gue menulis karena gue suka. Dan supaya rasa suka itu tetap tumbuh, makanya
gue juga harus rajin membaca tulisan penulis lain.
Kalo
loe, apa kebanggan loe ?